Beranda | Artikel
Terbelakang Dengan Tumbal Dan Sesaji
Selasa, 8 Januari 2019

TERBELAKANG DENGAN TUMBAL DAN SESAJI

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Mengajak orang berfikir maju ternyata sulit. Sampai sekarang, di zaman super modern dan di era informasi super canggih, orang masih sulit meninggalkan kepercayaan tahayul. Masih banyak yang keberatan meninggalkan sesajian dan persembahan kepada jin atau yang dipercaya sebagai penguasa tempat tertentu. Dan itu bukan hanya dilakukan orang-orang kampung dari desa-desa tertinggal, tetapi juga dilakukan orang-orang kota yang berpendidikan tinggi.

Ketika ada kasus berat yang sulit di atasi, mereka tidak mengembalikannya kepada Allâh Pencipta segala kejadian, tetapi justru kepada kekuatan-kekuatan ghaib selain Allâh Azza wa Jalla. Padahal hampir semua lembaga pendidikan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi, selalu menanamkan cara berpikir logis. Bahkan terkadang berlebihan hingga mengabaikan kepercayaan terhadap keberadaan berkah dan rahmat Allâh yang oleh sebagian kaum pengagum logika, dianggap tidak logis. Ironisnya, mereka justeru terjebak pada kepercayaan kepada hal-hal yang irrasional dan jauh dari logis, misalnya tahayul, mistik serta hal-hal yang bertentangan dengan kemajuan. Orang-orang ‘pintar’ salalu ramai kebanjiran nasabah. Bahkan tempat-tempat sepi, kuburan-kuburan dan benda-benda mati yang dikeramatkanpun tidak pernah sepi dari orang-orang yang ngalap berkah. Jangan ditanya lagi tentang tumbal dan sesaji, selalu saja orang takut kualat untuk tidak memenuhinya.

Sebenarnya tradisi sesaji, tumbal dan persembahan kepada berhala, roh halus atau yang diyakini sebagai penguasa tempat tertentu, sudah ada semenjak zaman dahulu kala, ketika secara teknologi orang masih terbelakang, dipelopori oleh orang-orang musyrik para penyembah berhala.

Telah difahami bahwa orang pertama yang merubah agama Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissallam dan Nabiyyullah Ismâ’îl Alaihissallam dari agama tauhid menjadi agama watsaniyah (paganisme) yang syirik adalah ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i, pembesar dan cikal bakal suku Khuza’ah di sekitar Baitullah, Mekah dan sekitarnya[1]

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya membawakan riwayat dengan sanadnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aktsam bin al-Jaun Radhiyallahu anhu :

يَا أَكْثَمُ، رَأَيْتُ عَمْرَو بْنَ لُحَيِّ بْنِ قَمَعَةَ بْنِ خِنْدَفٍ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، فَمَا رَأَيْتُ رَجُلاً أَشْبَهَ بِرَجُلٍ مِنْكَ بِهِ وَلاَ بِهِ مِنْكَ”. فَقَالَ أَكْثَمُ : أَخْشَى أَنْ يَضُرَّنِي شِبْهُهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم: “لاَ إِنَّكَ مُؤْمِنٌ وَهُوَ كاَفِرٌ، إِنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَيَّرَ دِيْنَ إِسْمَاعِيْل وَبَحَّرَ الْبَحِيْرَةَ، وَسَيَّبَ السَّائِبَةَ، وَحَمَى الْحَامِيَ

Wahai Aktsam, aku melihat ‘Amr bin Luhay bin Qama’ah bin Khindaf menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Aku belum pernah melihat ada seseorang yang mirip dengan orang lain dibanding engkau dengan dia dan dia dengan engkau”. Aktsam berkata, ‘Ya Rasûlullâh, aku khawatir jika keserupaan itu akan membahayakanku.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, sesungguhnya engkau orang Mu’min, sedangkan dia orang kafir. Sesungguhnya dia adalah orang pertama yang merubah agama Nabi Isma’il, orang pertama yang mengadakan persembahan kepada berhala berupa bahîrah, sâ’ibah dan Hâmiy[2]

Hadits ini dibahas di dalam Silsilah Ahâdîts Shahîhah karya Syaikh al-Albâni rahimahullah[3]. Beliau rahimahullah menjelaskan bahwa hadits itu juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim, dan isnad-nya Hasan.

Imam al-Bukhâri rahimahullah juga meriwayatkan, dari az-Zuhri, dari Urwah, sesungguhnya Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَأَيْتُ جَهَنَّمَ يَحْطِمُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَرَأَيْتُ عَمْرًا يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِب

Aku melihat neraka jahannam sebagiannya saling membakar pada sebagian yang lain (apinya berkobar-kobar), dan aku melihat ‘Amr (bin Luhay al-Khuza’i) menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Dan dia adalah orang pertama yang memberikan persembahan berupa saa’ibah kepada berhala. [HR. al-Bukhari][4]

Dari sekelumit kisah di atas, dapat diketahui bahwa persembahan sesajian berupa hewan-hewan tertentu kepada berhala-berhala, sudah dikenal semanjak dahulu, zaman yang terkenal dengan sebutan zaman jahiliyah (zaman kebodohan). Pada waktu itu, beberapa bentuk persembahan berupa hewan hidup dikenal dengan sebutan Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah dan Hâm.

Tentang Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah dan Hâm ini, terdapat sedikit perbedaan penafsiran di antara para Ulama, tetapi pada intinya berujung pada titik yang hampir sama. Yaitu persembahan berupa hewan hidup kepada berhala dan thaghut. Di antaranya adalah penafsiran Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah seperti yang dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya [5] : Bahwa Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Syihâb, dari Sa’id bin al-Musayyib, ia mengatakan, “Bahiirah ialah hewan (onta) yang tidak boleh diperah air susunya, sebagai persembahan kepada thaghut-thaghut (setan/berhala yang disembah selain Allâh). Maka tidak boleh seorangpun memerah air susunya.

Sedangkan Sa’ibah ialah hewan (ada yang mengartikan onta dan ada yang mengartikan kambing)[6] yang dilepaskan oleh orang-orang jahiliyah Arab sebagai persembahan bagi berhala-berhala mereka. Maka tidak boleh ada seorangpun yang memberi beban apapun pada hewan ini.

Kemudian Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah mengatakan bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَأَيْتُ عَمْرَبْنَ عَامِرٍ الْخُزَاعِيّ يَجُرُّ قُصْبَهُ فِى النَّارِ، كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَيَّبَ السَّوَائِب

Aku melihat ‘Amr bin ‘Amir al-Khuzâ’i[7] menarik-narik isi perutnya di dalam neraka. Dia adalah orang pertama yang mengadakan persembahan kepada berhala dengan sâ’ibah.[8]

Selanjutnya Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah menerangkan lagi, “Washiilah ialah anak onta berjenis kelamin betina yang dilahirkan pertama, lalu disusul oleh anak keduanya yang juga betina tanpa diselingi anak onta yang jantan. Onta ini dilepaskan untuk persembahan bagi thaghut-thaghut mereka. Sedangkan Hâm adalah onta jantan yang berkali-kali membuntingi onta betina, jika sudah tuntas, maka mereka lepaskan onta jantan ini sebagai persembahan bagi thaghut-thaghut dan tidak boleh dibebani apapun. Mereka namakan ini sebagai Hâmî.[9]

Pada keterangan lain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Bahîrah adalah onta yang sudah melahirkan sebanyak lima kali. Orang-orang musyrik Arab zaman dahulu akan melihat, jika anak kelima ini adalah jantan, maka mereka menyembelihnya dan dimakan oleh kaum laki-laki saja, tidak oleh perempuan. Jika anak kelima adalah betina, maka mereka menyobek telinganya. Inilah yang disebut Bahîrah (lalu dilepas sebagai persembahan kepada berhala-pent)[10]. Bahiirah ini haram ditunggangi menurut mereka, dan dihormati[11]

Sementara Sâ’ibah ada yang menafsirkan dengan onta yang sudah beranak sepuluh ekor semuanya betina, lalu induknya dilepas, tidak boleh dijadikan tunggangan, dan tidak boleh diperah air susunya kecuali untuk tamu[12]. Itu semua untuk maksud persembahan kepada berhala.

Begitu juga Washîlah, ada penafsiran lain tentangnya, tetapi intinya sama yaitu hewan hidup yang dihormati sebagai persembahan bagi berhala.

Persembahan kepada berhala, jin dan makhluk yang diyakini sebagai penguasa tempat tertentu pada zaman jahiliyyah, tidak saja berupa hewan-hewan hidup yang kemudian dianggap suci, tetapi juga daging-daging dari hewan sembelihan atau darahnya.

Berhala Lata, ‘Uzza dan Manat adalah di antara berhala-berhala yang selalu menerima sesajian berupa darah, daging atau lainnya. Karena itu ada sebagian Ulama yang mengatakan bahwa berhala Manat disebut Manat disebabkan banyaknya darah hewan qurban yang dialirkan sebagai persembahan kepadanya untuk maksud ngalap berkah[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ…الحديث، رواه مسلم

Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk maksud selain Allâh. [HR. Muslim][14]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan adanya penyembelihan hewan untuk persembahan atau atas nama selain Allâh. Wallahu A’lam.

Demikianlah antara lain sejarah tentang sesajian yang di persembahkan kepada berhala atau kepada sesembahan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Itulah kebiasaan orang musyrik di zaman jahiliyah dahulu. Dan ternyata sekarang tradisi itu banyak bermunculan kembali, setelah pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sempat terhenti. Bahkan kini dilakukan oleh banyak kaum Muslimin yang tidak sedikit memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan hidup di zaman super canggih. Dan itu tentu merupakan cermin komunitas masyarakat terbelakang, meskipun membawa seabreg gelar pendidikan.

Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah dan Hâm memang tidak ada lagi, tetapi muncul dengan nama dan istilah baru, misalnya larung, ingkung, penanaman kepala kerbau dan bentuk-bentuk sesajian lain yang dipersembahkan kepada setan-setan demi keselamatan serta kesuksesan.

Jika ini tetap dipelihara, maka keterbelakangan akan selalu melanda umat. Dan bangsa ini akan sulit menapaki kemajuan.

Karena itu Islam datang untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan ini, membebaskan manusia dari keterbelakangan dan membangun peradaban yang maju. Maka Islam sangat menentang tradisi dan kegiatan semacam di atas.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Allah tidak pernah mensyari’atkan adanya bahîrah, sâ’ibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat dusta atas nama Allâh, dan kebanyakan mereka tidak berakal. [ al-Mâ’idah/5:103]

Ayat ini merupakan celaan kepada kaum Musyrikin karena mereka membuat syari’at sendiri dalam urusan agama, yang tidak ada petunjuknya dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh. Maka berdasarkan gagasan rusaknya, mereka mengharamkan sesuatu yang halal dari hewan-hewan ternak mereka sesuai dengan istilah-istilah yang mereka buat sendiri[15].

Dengan demikian jelas bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak pernah mensyari’atkan semua perkara itu (Bahîrah, Sâ’ibah, Washîlah dan Hâm). Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga tidak mengakui bahwa itu semua merupakan pendekatan diri kepada-Nya. Akan tetapi orang-orang kafirlah yang membuat-buat dusta atas nama Allâh. Mereka membuat syari’at sendiri untuk diri mereka dan menjadikan hal itu sebagai kegiatan pendekatan diri.

Islam juga menentang sesajian, larung dan persembahan apa saja untuk selain Allâh Azza wa Jalla .

Dalam hadits riwayat Imam Muslim yang sudah diketengahkan di muka, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas memberitakan bahwa Allâh melaknat orang yang menyembelih hewan sembelihan untuk maksud selain Allâh.

Pengertian ; “Allah melaknat” ialah, Allâh menjauhkan rahmat serta kasih sayang-Nya dari pelaku penyembelihan hewan yang dipersembahkan untuk selain-Nya. Maka orang yang dijauhkan dari rahmat Allâh, pasti tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan.

Untuk itu, tidak semestinya orang yang mengaku sebagai hamba Allâh dan pengikut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat dicintai, masih tetap bertahan melakukan tradisi-tradisi syirik dan terbelakang semacam itu. Nas’alullaha at-Taufiq.

Maraji’
1. Tafsîr Ibnu Katsîr
2. Tafsir ath-Thabari
3. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân Fi Tafsîr Kalâmil Mannan, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di.
4. Fathul Bâri, Syarh Shahihil Bukhâri, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
5. Shahih Muslim, Syarhun Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha
6. Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, Syaikh Muhammab Nashiruddin al-Albâni.
7. Al-Bidayatu wan Nihâyah, Imam Ibnu Katsir
8. Fathul Majîd, Syarh Kitâbut Tauhîd, Syaikh Abdurrahmân bin Hasan Aalusy Syaikh
9. Taisirul Azîz al-Hamîd fi Syarhi Kitâbit Tauhîd, Syaikh Sulaiman bin Abdillah Aalusy Syaikh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431H/2010M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
__________
Footnote
[1] Lihat al-Hâfizh Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan Nihâyah, Maktabah al-Ma’ârif, Beirut, tanpa tahun, II/187-188 dan 189, Qisshatu Khuza’ah wa ‘Amr bin Luhay wa ‘Ibadatul ‘Arab lil Ashnam
[2] Lihat Tafsir ath-Thabari, karya Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Dhabth wa Ta’liq: Mahmud Syakir, Dar Ihya’it Turats al-Arabi, Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2001 M, 7/103 tentang al-Mâ’idah/5:103
[3] Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Maktabah al-Ma’arif lin Nasyr, 1415 H/1995 M. IV/242-244, no. 1678.
[4] Lihat Shahih al-Bukhari/Fathul Bâri VIII/283, no. 4624.
[5] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ma’idah: 103, Taqdim: Abdul Qadir al-Arna’uth, Dar al-Faiha’, Dimasyq & Dar as-Salam Riyadh, cet. I, 1414 H/1994 M, II/147
[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/148
[7] Yang dimaksud adalah ‘Amr bin Luhay al-Khuza’i. Lihat Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M. XVII/187, ketika Imam Nawawi rahimahullah mensyarah hadits no. 7122
[8] Lihat pula Shahih Muslim Syarh an-Nawawi. Ibid, no. 7122
[9] Lihat Shahih Bukhari/Fathu al-Bari, VIII/283, no. 4623, dengan terjemahan bebas
[10] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, op.cit. II/148.
[11] Lihat Taisir al-Karimir Rahman, Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Masyru’ Maktabah Thalib al-Ilmi, Jum’iyyah Ihya’ at-Turats al-Islami, cet. I, 1418 H/1997 M, I/302, QS. al-Mâ’idah/5:103
[12] Tafsir Ibnu katsir, op.cit.
13] Lihat Fathu al-Majid Syarh Kitabi at-Tauhid, karya Syaikh Abdur-Rahman bin Hasan Aalu asy-Syaikh, 1/256. Tahqiq : Dr. Al-Walid bin Abdur Rahman bin Muhammad Aalu Fariyyan, Dar ‘Alam al-Fawa’id, Mekah, cet. VI, 1420 H.
[14] Lihat Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, no. 5096, 5097 & 5098. Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, op.cit. XIII/141-142
[15] Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, Syaikh as-Sa’di, 1/302 op.cit.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10738-terbelakang-dengan-tumbal-dan-sesaji-2.html